Pempek atau empek-empek adalah makanan khas Palembang yang terbuat dari daging ikan yang digiling lembut dan tepung kanji (secara salah kaprah sering disebut sebagai "tepung sagu"), serta beberapa komposisi lain seperti telur, bawang putih yang dihaluskan, penyedap rasa dan garam. Sebenarnya sulit untuk mengatakan bahwa penganan pempek pusatnya adalah di Palembang karena hampir semua daerah di Sumatera Selatan memproduksinya.
Pempek bisa ditemukan dengan sangat mudah di seantero Kota Palembang; ada yang menjual di restoran, ada yang di pinggir jalan, dan juga ada yang dipikul. Tahun 1980-an, penjual biasa memikul satu keranjang penuh pempek sambil berjalan kaki berkeliling menjajakan makanannya.
Jenis pempek yang terkenal adalah "pempek kapal selam", yaitu pempek yang diisi dengan telur ayam dan digoreng dalam minyak panas. Ada juga yang lain seperti pempek lenjer, pempek bulat (atau terkenal dengan nama "ada'an"), pempek kulit ikan, pempek pistel (berisi irisan pepaya muda rebus yang sudah ditumis dan dibumbui), pempek telur kecil, dan pempek keriting.
Dari satu adonan pempek, ada banyak makanan yang bisa dihasilkan, bergantung baik pada komposisi maupun proses pengolahan akhir dan pola penyajian. Di antaranya adalah laksan, tekwan, model, celimpungan dan lenggang. Laksan dan celimpungan disajikan dalam kuah yang mengandung santan; sedangkan model dan tekwan disajikan dalam kuah berisi kepingan jamur kuping, kepala udang, bengkuang, serta ditaburi irisan daun bawang, seledri, dan bawang goreng dan bumbu lainnya. Varian baru juga sudah mulai dibuat orang, misalnya saja kreasi pempek keju, pempek baso sapi, pempek sosis serta pempek lenggang keju yang dipanggang di wajan anti lengket, serta sekarang warga Palembang pun membuat pempek dengan bahan dasar terigu dan nasi sebagai pengganti ikan.
Sejarah
Menurut sejarahnya, pempek telah ada di Palembang sejak masuknya perantau Tionghoa ke Palembang, yaitu di sekitar abad ke-16, saat Sultan Mahmud Badaruddin II berkuasa di kesultanan Palembang-Darussalam. Nama empek-empek atau pempek diyakini berasal dari sebutan apek atau pek-pek, yaitu sebutan untuk paman atau lelaki tua Tionghoa.
Berdasarkan cerita rakyat, sekitar tahun 1617 seorang apek berusia 65 tahun yang tinggal di daerah Perakitan (tepian Sungai Musi) merasa prihatin menyaksikan tangkapan ikan yang berlimpah di Sungai Musi yang belum seluruhnya dimanfaatkan dengan baik, hanya sebatas digoreng dan dipindang. Ia kemudian mencoba alternatif pengolahan lain. Ia mencampur daging ikan giling dengan tepung tapioka, sehingga dihasilkan makanan baru. Makanan baru tersebut dijajakan oleh para apek dengan bersepeda keliling kota. Oleh karena penjualnya dipanggil dengan sebutan "pek … apek", maka makanan tersebut akhirnya dikenal sebagai empek-empek atau pempek.[1]
Namun, cerita rakyat ini patut ditelaah lebih lanjut karena singkong baru diperkenalkan bangsa Portugis ke Indonesia pada abad 16, sementara bangsa Tionghoa telah menghuni Palembang sekurang-kurangnya semenjak masa Sriwijaya. Selain itu velocipede (sepeda) baru dikenal di Perancis dan Jerman pada abad 18. Dalam pada itu Sultan Mahmud Badaruddin baru dilahirkan tahun 1767. Walaupun begitu memang sangat mungkin pempek merupakan adaptasi dari makanan Tionghoa seperti bakso ikan, kekian atau pun ngohiang.
2. BATAGOR
Batagor (akronim dari bakso tahu goreng) merupakan jajanan khas Bandung yang mengadaptasi gaya Tionghoa-Indonesia dan kini sudah dikenal hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Secara umum, batagor dibuat dari tahu yang dilembutkan dan diisi dengan adonan berbahan Ikan tenggiri dan tepung tapioka lalu dibentuk menyerupai bola yang digoreng dalam minyak panas selama beberapa menit hingga matang. Variasi lainnya yaitu siomay, digoreng dan dihidangkan bersama batagor dan dikombinasikan dengan bumbu kacang, kecap manis, sambal, dan air perasan jeruk nipis sebagai pelengkap.
Sejarah :
Bermula dari seorang bernama Isan yang memulai usaha baru di rumah kontraknya, Gang Situ Saeur, Bandung, pada perkiraan tahun 1970-1980an. Isan muda adalah anak perantauan asal Purwokerto (Jawa Tengah) yang mengadu nasib ke kota Bandung dengan niat mencari pekerjaan.
Ternyata mencari pekerjaan di Bandung tidaklah mudah, sementara Isan pun menyadari bahwa dirinya tidak memiliki bekal pengetahuan dan ketrampilan yang memadai. Ia sempat lontang lantung selama tiga bulan tanpa ada yang mau menerimanya bekerja.
Sekadar untuk mengisi waktu dan tidak menganggur,Isan memutuskan untuk ikut jualan baso keliling. Selama bertahun-tahun Isan melakoni masuk-keluar gang dengan pikulan dagangannya. Suatu ketika Isan mengalami dalam seharian itu dagangan tidak habis. Yang segera terpikirkan bahwa tentu dagangannya tak bisa dijual lagi keesokan harinya karena dipastikan telah basi. Untuk membuang dagangannya yang tak laku itu pun dirasakannya berat dan tentu saja sayang.
Saat itu Isan berpikir praktis saja; baso tahu kukus yang tidak habis itu segera ia goreng, hasil gorengannya kemudian ia bagi-bagikan secara cuma-cuma ke para tetangga dekat sekitar kontrakannya di Gang Situ Saeur, jalan Kopo, Bandung. 74
Berbagi atau setiap mengalami dagangannya tak habis terjual kemudian menggoreng dan membagikannya kepada para tetangga pun terus menjadi tradisi yang dilakukan Isan bertahun-tahun Sikap kedermawanan Isan kepada tetangga kian dikenal, dan rupanya para tetangga sudah mulai ketagihan oleh baso gorengnya. Maka ketika dagangan baso kukusnya laris, teman dan para tetangganya kerapmenanyakan baso tahu goreng yang biasanya ia bagi-bagikan itu.
Di kemudian hari bahkan di antara mereka bermaksud membeli dan/atau tidak mau lagi mendapatkan gratisan. Sejak itu pula Isan atau pun para tetangga menyebut baso tahu goreng bikinan Isan itu dengan akronim “batagor.”
Isan belakangan memutuskan untuk mulai merintis menjual baso tahu kukus yang digoreng pada tahun 1968. Setelah beberapa lama usaha rintisannya itu berjalan, pembeli dan pelanggannya ternyata kian berkembang, Isan mulai merasa kerepotan dalam hal proses dua tahap yaitu membuat terlebih dahulu baso tahu kukus baru kemudian menggorengnya. Isan melakukan percobaan dan kemudian mengubah cara, yaitu dengan mematangkan tanpa dikukus terlebih dahulu, melainkan dari adonan mentahnya langsung digoreng. Moda atau teknik inilah yang kemudian menjadi acuan umum pembuatan batagor.
Usaha Isan pun kian berkembang, tak hanya masyarakat sekitar bahkan orang-orang dari daerah yang berjauhan pun mulai berdatangan untuk menikmati batagornya. Mulai pada tahun 1985 warung di tempat kontrakannya dirasakan tak memadai lagi untuk bisa menampung pelanggan, Isan kemudian pindah ke jalan Bojongloa No. 38 yaitu ke sebuah rumah yang relatif lebih luas.
Usaha batagor Isan kian berkembang, dari hasil dagangnya antara lain ia berkesempatan dua kali ke tanah suci yaitu pada tahun 1991 dan 2003. Sepulang dari ibadah haji, merk dagangnya yang semula Batagor Isan diubah menjadi Batagor H. Isan, seperti yang kita kenal sekarang. H. Isan wafat pada tahun 2010 dalam usia 79 tahun, usaha dagannya diserahkan kepada salah satu keponakannya yaitu H. Suwarto karena H. Isan tidak memiliki anak kandung.
Batagor H. Isan kini telah memiliki cabang di beberapa tempat antara lain di jalan Cikawao, jalan Lodaya, jalan Ciateul dan beberapa tempat lain di Bandung.
Source :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar